Minggu, 17 April 2011

ayah,kembalikan tanganku...

Sepasang suami isteri, seperti
pasangan lain di kota-kota besar
meninggalkan anak-anak diasuh
pembantu rumah sewaktu
bekerja. Anak tunggal pasangan
ini, perempuan cantik berusia
tiga setengah tahun. Sendirian ia
di rumah dan kerap kali
dibiarkan pembantunya karena
sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-
ayunan di atas buaian yang
dibeli ayahnya, ataupun
memetik bunga dan lain-lain di
halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang
paku karat. Dan ia pun mencoret
lantai tempat mobil ayahnya
diparkirkan , tetapi karena
lantainya terbuat dari marmer
maka coretan tidak kelihatan.
Dicobanya lagi pada mobil baru
ayahnya. Ya … karena mobil itu
bewarna gelap, maka
coretannya tampak jelas. Apalagi
anak-anak ini pun membuat
coretan sesuai dengan
kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya
bermotor ke tempat kerja
karena ingin menghindari macet.
Setelah sebelah kanan mobil
sudah penuh coretan maka ia
beralih ke sebelah kiri mobil.
Dibuatnya gambar ibu dan
ayahnya, gambarnya sendiri,
lukisan ayam, kucing dan lain
sebagainya mengikut
imaginasinya. Kejadian itu
berlangsung tanpa disadari oleh
si pembantu rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah
pasangan suami istri itu melihat
mobil yang baru setahun dibeli
dengan bayaran angsuran yang
masih lama lunasnya. Si bapak
yang belum lagi masuk ke rumah
ini pun terus menjerit, “Kerjaan
siapa ini !!!” …. Pembantu rumah
yang tersentak engan jeritan itu
berlari keluar. Dia juga
beristighfar. Mukanya merah
adam ketakutan lebih-lebih
melihat wajah bengis tuannya.
Sekali lagi diajukan pertanyaan
keras kepadanya, dia terus
mengatakan ‘ Saya tidak
tahu..tuan.” “Kamu dirumah
sepanjang hari, apa saja yg kau
lakukan ?” hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara
ayahnya, tiba-tiba berlari keluar
dari kamarnya. Dengan penuh
manja dia berkata “Dita yg
membuat gambar itu ayahhh..
cantik …kan!” katanya sambil
memeluk ayahnya sambil
bermanja seperti biasa.. Si ayah
yang sudah hilang kesabaran
mengambil sebatang ranting
kecil dari pohon di depan
rumahnya, terus dipukulkannya
berkali-kali ke telapak tangan
anaknya . Si anak yang tak
mengerti apa apa menagis
kesakitan, pedih sekaligus
ketakutan. Puas memukul
telapak tangan, si ayah memukul
pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan Si ibu cuma
mendiamkan saja, seolah
merestui dan merasa puas
dengan hukuman yang
dikenakan. Pembantu rumah
terbengong, tidak tahu harus
berbuat apa … Si ayah cukup
lama memukul-mukul tangan
kanan dan kemudian ganti
tangan kiri anaknya. Setelah si
ayah masuk ke rumah diikuti si
ibu, pembantu rumah tersebut
menggendong anak kecil itu,
membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak
tangan dan belakang tangan si
anak kecil luka-luka dan
berdarah. Pembantu rumah
memandikan anak kecil itu.
Sambil menyiramnya dengan air,
dia ikut menangis. Anak kecil itu
juga menjerit-jerit menahan
pedih saat luka-lukanya itu
terkena air. Lalu si pembantu
rumah menidurkan anak kecil
itu. Si ayah sengaja membiarkan
anak itu tidur bersama
pembantu rumah. Keesokkan
harinya, kedua belah tangan si
anak bengkak. Pembantu rumah
mengadu ke majikannya.
“ Oleskan obat saja!” jawab
bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak
memperhatikan anak kecil itu
yang menghabiskan waktu di
kamar pembantu. Si ayah konon
mau memberi pelajaran pada
anaknya. Tiga hari berlalu, si
ayah tidak pernah menjenguk
anaknya sementara si ibu juga
begitu, meski setiap hari
bertanya kepada pembantu
rumah. “Dita demam, Bu”…jawab
pembantunya ringkas. “Kasih
minum panadol aja ,” jawab si
ibu. Sebelum si ibu masuk kamar
tidur dia menjenguk kamar
pembantunya. Saat dilihat
anaknya Dita dalam pelukan
pembantu rumah, dia menutup
lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu
rumah memberitahukan
tuannya bahwa suhu badan Dita
terlalu panas. “Sore nanti kita
bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah
siap ” kata majikannya itu.
Sampai saatnya si anak yang
sudah lemah dibawa ke klinik.
Dokter mengarahkan agar ia
dibawa ke rumah sakit karena
keadaannya susah serius.
Setelah beberapa hari di rawat
inap dokter memanggil bapak
dan ibu anak itu. “Tidak ada
pilihan..” kata dokter tersebut
yang mengusulkan agar kedua
tangan anak itu dipotong karena
sakitnya sudah terlalu parah dan
infeksi akut …”Ini sudah
bernanah, demi menyelamatkan
nyawanya maka kedua
tangannya harus dipotong dari
siku ke bawah ” kata dokter itu.
Si bapak dan ibu bagaikan
terkena halilintar mendengar
kata-kata itu. Terasa dunia
berhenti berputar, tapi apa yg
dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si
anak. Dengan berat hati dan
lelehan air mata isterinya, si
ayah bergetar tangannya
menandatangani surat
persetujuan pembedahan. Keluar
dari ruang bedah, selepas obat
bius yang disuntikkan habis, si
anak menangis kesakitan. Dia
juga keheranan melihat kedua
tangannya berbalut kasa putih.
Ditatapnya muka ayah dan
ibunya. Kemudian ke wajah
pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat
mereka semua menangis. Dalam
siksaan menahan sakit, si anak
bersuara dalam linangan air
mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak
akan melakukannya lagi…. Dita
tak mau lagi ayah pukul. Dita tak
mau jahat lagi … Dita sayang
ayah..sayang ibu.”, katanya
berulang kali membuatkan si ibu
gagal menahan rasa sedihnya.
“ Dita juga sayang Mbok Narti..”
katanya memandang wajah
pembantu rumah, sekaligus
membuat wanita itu meraung
histeris.
“ Ayah.. kembalikan tangan Dita.
Untuk apa diambil.. Dita janji
tidak akan mengulanginya lagi!
Bagaimana caranya Dita mau
makan nanti ? … Bagaimana Dita
mau bermain nanti ?… Dita janji
tidak akan mencoret-coret mobil
lagi, ” katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu
mendengar kata-kata anaknya.
Meraung-raung dia sekuat hati
namun takdir yang sudah terjadi
tiada manusia dapat
menahannya. Nasi sudah jadi
bubur.
LANJUT MAS BRO - ayah,kembalikan tanganku...

Senin, 11 April 2011

sajadah oh sajadah

Sajadah. Barang yang hanya berupa lembaran kain dengan berbagai motif dan bahan itu begitu menyita pikiran Husna. Terutama ketika hendak pergi tarawih. Bagi kebanyakan orang sajadah adalah sebuah kemestian ketika hendak melakukan sholat. Entahlah, rasanya kurang lengkap kalau sholat, apalagi di masjid tanpa menggunakan sajadah. Padahal sebagian masjid telah menyeddiakan karpet yang bagus dan mahal. Tapi tetap saja sajadah seolah menjadi kebutuhan tersendiri. Entah sekedar trend atau apalah.
Husna tidak menyalahkan. Memang sajadah adakalanya sangat membantu Husna ketika sholat maupun saat setrika karena bisa dijadikan alas. Tetapi kali ini Husna memang harus berpikir puluhan kali ketika akan menyertakan sajadah untuk tarawih di masjid dekat tempat kosnya. Kebiasaan barunya ini cukup menjengkelkan teman kosnya. Ke masjid selalu terlambat. Tepatnya seminggu setelah Ramadhan lewat.

“Husnaa.aa! Cepetan, ntar telat lagi, lho.” Teriak Nina dari luar kamar. Tak ada jawaban.
Klek! Pintu kamar terbuka dan wajah bulat Nina menyembul dengan balutan mukena dari balik pintu.
“Lagi ngapain, sih. Cepet! Ntar nggak dapat tempat lagi baru tahu rasa.” Husna menoleh sekilas. Pandangannya kembali tertuju pada sajadah biru yang terlipat rapi di tepi dipan. Membawanya berarti menyertakan beban berat berton-ton ke masjid. Tapi kalaupun ditinggal bukan berarti masalah akan selesai.

“Bawa…enggak…bawa…..enggak…bawa…” Husna menghitung kancing bajunya dengan serius.
“Kamu tuh mau tarawih apa enggak, sih? Ato mau berangkat sendiri?”
“Sebentar, dong.Lagi pusing, nih. Cerewet amat.”
“Pusing kok dipiara. Sampai kapan kamu akan diperbudak oleh sajadah itu?” Potong Nina tandas.
“Enak aja. Masa aku budaknya sajadah.” Tangan Husna langsung menyematkan mukena ke kepalanya.
‘Terus apa namanya? Kalau tiap hari selalu pusing dan jutek gara-gara sajadah. Aku bener-bener nggak ngerti dengan sikapmu yang aneh itu. Padahal kalau di rumah kamu nggak pernah mempermasalahkan sajadah. Giliran kemasjid bikin rebut serumah.”

Husna ragu-ragu menyentuh sajadahnya. Saat jemarinya hampir menyentuh bahan beludru itu, buru-buru ia menariknya. Nina berdecak sebal.
“Ya Allah, Husna. Kalau mau bawa ya bawa. Kalau enggak, ya enggak. Pusing amat!” Husna hanya membisu. “Udahlah aku berangkat duluan aja. Daripada menyaksikan orang yang sajadahphobinya kumat.”
“Kalau kamu berangkat duluan, aku akan tarawih sendiri aja di rumah.”

“Eh, masa gara-gara sajadah sampai nggak ke masjid. Ingat setelah tarawih nanti ada pertemuan Remas untuk membahas rencana rihlah adek-adek TPA.” Nina memperhatikan tetangga kamarnya dengan seksama. Wajah Husna benar-benar tampak bingung. Dengan sabar yang dipaksakan, akhirnya Nina menjajarinya di dipan. Ia tak lagi peduli dengan jarum jam yang terus bergerak kearah angka tujuh.

“Sebenarnya ada sih?” Husna menatap mata Nina sesaat. Kepalanya lurus lagi.
“Aku, malu.”
“Malu? Malu dengan siapa? Dan kenapa? Tumben kamu yang biasanya cuek bisa malu. Lebih sering kamu itu bersikap yang malu-maluin.”
“Aku serius, Nin!”

“Oke, oke. Tapi kenapa?”
“Yang pasti aku malu gara-gara sajadah itu.”
“Kamu nggak pede karena modelnya?” Husna menggeleng cepat.
“Modelnya kan sama kaya punyamu.”
“Atau baunya nggak enak karena lama nggak dicuci?” Nina bertanya tanpa ekspresi.
“Nih, cium. Wangi, kan?”

“Trus?” Husna mematung. Ia menimbang-nimbang. Ia yakin kalau Nina tahu pasti rekasinya menyebalkan. Dan Husna akan menjadi gossip nasional di tempat kosnya.
“Jangan-jangan itu sajadah curian dan ketahuan oleh pemiliknya.” Sontak Husna menoleh.
“Enak aja! Emang aku keturunan maling.” Mata Husna melotot galak.
“Atau jangan-jangan uang yang kamu pakai untuk membeli adalah hasil korupsi.” Mimik Nina dibuat seolah-olah serius.

“Heh, mikir dong kalau ngomong. Mana ada orang korupsi buat beli sajadah? Emangnya Allah bisa disuap dengan sajadah? Yang ada, korupsi buat beli rumah, mobil mewah dan jalan-jalan keluar negeri.”
“Yaa, kali aja ini lain.”
“Sudahlah, lama-lama kamu ngaco ngomongnya. Memang sebaiknya aku tarawih di rumah aja.”
“Eh, ingat tujuan kita. Kemarin kita bersepakat bahwa akan tarawih di masjid. Bukan hanya itu, kita pun tidak boleh mengambil tempat di shaf yang sama. Agar kita bisa membaur dengan remaja dan ibu-ibu yang lain. Katanya ingin membuat forum kajian untuk remaja dan ibu-ibu. Belum-belum sudah mutung. Kapan berhasil dakwah kita kalau seperti ini?”

Husna tersenyum dalam hati melihat Nina berkata sebijak itu. Dalam hati ia senang punya teman yang ceria dan baik seperti Nina. Meskipun sering iseng dan jail.
“Katanya kita ini sodara. Kalau ada masalah kan harus dipecahkan bersama. Apalagi kalu ternyata masalahnya bisa menghambat tujuan mulia kita.”
“Baiklah, tapi kamu harus berjanji satu hal.”
“Oke.”
“Kamu harus serius.” Nina mengangguk mantap.

* * * * * *
Awalnya Husna begitu senang membawa sajadah birunya ke masjid untuk sholat tarawih. Itu memang sajadah kesayangannya karena ia membeli dari hasil tabungannya saat SMU. Ia pun berharap sajadahnya bisa membawa berkah di awal bulan suci ini. Siapa tahu ada orang yang juga membutuhkan alas sholat. Kalau hal itu terjadi peluang mendapat pahala semakin banyak. Dan ternyata impiannya tidak percuma.

“Terimaksih, Dek. Tadi saya buru-buru ke masjid. Jadi lupa nggak bawa sajadah.” Seorang ibu setengah baya tersenyum ramah ketika membagi sajadah dengannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat sholat mulai tampaklah sebuah permasalahan yang bagi Husna tidak bisa diremehkan. Shof sholat tidak rapat. Padahal Umar bin Khottob pernah merapikan shof dengan pedangnya karena begitu pentingnya shof yang rapat dan lurus agar tidak ada celah bagi syetan untuk engganggu selama solat.

Husna meyakini bahwa penyebab utama dari fenomena yang ada di depannya bisa jadi karena mereka tidak tahu betapa pentingnya shaf sholat yang rapat dan rapi. Dan kondisi itu diperparah dengan sajadah. Para jamaah sholat lebih memilih posisi di tengah sajadah masing-masing. Mereka tidak peduli sisa tempat yang akibat sajadah yangyang mereka bawa. Bahkan ada beberapa orang yang tanpa beban meletakkan sajadahnya sehasta di sebelah sajadah lainnya. Padahal kalau mau, tempat itu masih bisa diisi satu orang lagi. Tapi entahlah, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan jika kesalahan dilakukan bersama maka statusnya kan berubah menjadi benar.

Sebenarnya sang imam selalu mengingatkan agar merapatkan dan meluruskan shaf sebelum sholat. Api seruan imam itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Buktinya setiap hari kondisinya selalu sama. Dan Husna bertekad akan berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang ada. Baginya ini adalah peluang amal yang harus dimanfaatkan.

* * * * * *
Husna membalas tatapan sinis seorang ibu muda denngan senyum termanisnya. Ibu muda itu kelihatan dari orang yang cukup berada. Mukenanya jelas tergolong mahal, tapi sayang wajahnya tidak ramah. Kalau saja ia mau tersenyum sedikit saja, pasti kelihatan cantik. Mersa senyumnya tak berbalas, Husna mersa jengah juga dipandangi seperti itu.

“Ehm…, maaf, tante. Apa ada yang salah dengan saya?” Husna bertanya dengan hati-hati. Suaranya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu yang lain.
“Lho, nggak nyadar juga. Tampangnya, sih mahasiswa. Ternyata nggak tahu sopan santun.! Jawabnya pedas. Meskipun suara si Tante pelan tapi cukup membuat wajah-wajah di sekitarnya menoleh kearah mereka.

“Kenapa Anda nempel-nempel dekat saya? Seenaknya saja menumpuki sajadah saya dengan sajadah murahan! Ini sajadah mahal, saya beli di Arab waktu haji. Harganya mahal tau. Emang kalau lecek mau ngganti?” Muka Husna seperti disiram lahar gunung merapi yang baru meletus. Wajahnya memerah seperti tomat yang masak. Telinganya memanas, begitu pula matanya. Matanya segera terpaku pada sajadah biru yang menutupi sebagian sajadah si Tante. Dia melakukan semua itu karena ingin shaf shalat menjadi rapat. Apalagi posisinya yang ada di ujung paling kiri barisan membuatnya harus mendekat ke arah kanan. Tapi Husna benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.

Dengan cepat si Tante berdiri dan menyambar sajadah mahalnya. Ia bergegas ke barisan belakang meninggalkan Husna dalam sorotan mata dengan berjuta ekspresi. Ada ekspresi simpati karena kasihan, ekspresi gemes dan gregetan, ekspresi geli karena menahan tawa sampai yang cuek seolah tak terjadi apa-apa. Husna tidak lagi peduli dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya. Yang ia rasakan cuma satu : malu.

* * * * *
Husna mulai berhati-hati bersikap karena tak semua niat baik berbuntut manis. Kali lain ia duduk di sebelah seorang gadis sebayanya. Sajadah gadis itu cukup lebar hampir separo sajadahnya. Setelah meminta ijin, Husna meletakan sajadahnya di bawah sajadah merah si Gadis. Husna menjelaskan alas an sikapnya pada si Gadis. Sambutan si gadis sangat baik terutama ketika Husna emnjelaskan tentang pentingnya shaf sholat yang rapid dan rapat. Tapi sambutan hangat itu segera lenyap ketika seorang nenek menghampiri mereka.

“Neng, kenapa sajdah saya dipake? Nenek itu baru belajar sholat dan harus pake sajadah biar nggak kedinginan. Masa baru ditinggal wudhu sebentar sajadah sudah lenyap. Di bulan suci begini kok ya masih sempat ngembat barang orang.”
Husna berusaha tersenyum dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

“Maaf, Nek saya dari tadi di sini. Dan ini sajadah saya. Mungkin Nenek lupa menaruh sajadah nenek. “ Husna menjaga kalimatnya dengan hati-hati. Gadis di sebelahnya meliriknya curiga.
“Kalau itu memang sajadah Neng, kenapa mesti disembunyikan di bawah sajadahnya?” tangan si Nenek menunjuk sajadahnya yang tertutup oleh sajadah si Gadis. Tiba-tiba si Gadis berdiri.
“Maaf, Mbak. Saya nggak mau sajadah saya dijadikan tempat menyembunyikan barang curian.” Husna ingin menjelaskan lebih jauh tapi si Gadis terlanjur pergi.

* * * * *
Tawa Nina hampir meledak. Ia tutup mulutnya agar tidak bersuara karena teringat pesan Husna. Setelah berhasil menguasai diri ia mulai bersuara .
“Kok nasibmu sial banget. Trus, si Nenek gimana?”
“Pas si Gadis pergi si Nenek baru sadar bahwa sajadahku memang berbeda, hanya mirip saja. Dia baru ingat bahwa sajadahnya dititipkan ke cucunya.”

“Ya udah mending nggak usah bawa saja.”
“Sudah kucoba kemarin.”
“Trus hasilnya?”
“Aku harus mencuci mukenaku kemarin.”
“Apa hubungannya?”
“Kemarin aku kan telat, terpaksa sholat di teras yang basah karena hujan. Dan tidak ada seorang pun yang membagi sajadahnya untukku.” Nina mendengus prihatin sekaligus salut dengan upaya keras Husna untuk mengubah budaya shaf yang tidak rapat.

“Ya, sudah. Kesepakatan untuk berpencar selama tarawih kita cabut saja dulu. Untuk shaf yang rapat sepertinya kita harus memberi contoh.”
“Maksudnya?”
“Kita sholat besebalahan saja. Biar orang-orang melihat kelurusan dan kerapian shaf kita. Sekalian kita mencoba memahamkan tentang pentingnya shaf yang rapat dan lurus.”

“Sepertinya itu ide yang bagus. Tapi sekarang aku bawa sajadah nggak?”
“Aduu…uh! Sajadah lagi, sajadah lagi. Nggak usah bawa aja dulu. Ntar bermasalah lagi.”
Berdua, mereka segera bergegas ke Masjid As Syuhada.. Sampai di masjid, suasana begitu lengang. Sholat isya telah dimulai. Mereka segera mencari tempat. Tapi sayang, tidak ada tempat yang bisa dipakai dua orang sekaligus.
“Sudah, kamu di sini aja. Aku akan mencari tempat lain. Ntar keburu habis sholat isya’nya. Sepertinya ini raka’at terakhir.”
“Tapi kamu kan, nggak bawa sajadah.”

“Nggak apa-apa. Hari ini kan, tidak hujan jadi lantainya nggak basah.” Setelah bersusah payah alhirnya Husna menemukan tempat yang berada di sela-sela shaf. Sekilas Husna melirik ke kir, dan dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang di sebelahnya adalah nenek yang menudunhnya mencuri beberapa hari lalu. Sebenarnya Husna ingin mencari tempat lain. Tapi selain susah, juga akn menyita banyak waktu. Husna hampir saja melakukan takbiratul ikrom ketika si Nenek menoleh dan tersenyum ke arahnya. Belum hlang rasa kagetnya, si Nenek malah membungkuk dan mengambil sajadahnya. Si Nenek berbagi sajadah dengannya. Reflek Husna menolak.

“Lho, Nek nggak usah.” Spontan Husna bicara pada Nenek yang seharusnya masih sholat.
“Nggak apa-apa. Maaf ya, kejadian kemarin.” Dengan santai si Nenek melanjutkan sholatnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tinggal Husna yang kebingungan dengan semua yang terjadi.
Ah, kalau saja aku tadi membawa sajadah pasti pasti Nenek tidak perlu berubuat begitu. Pe-er shaf belum selesai sudah ditambah pe-er Nenek yang harus diajari tentang tata cara sholat yang benar. Semoga ini adalah lading amal baru yang bisa menjadi pendulang pahala.

Saat tarawih di Masjid As Syuhada BTN Mastrip Jember


Sumber : Istana Cerpen
http://piscesdna.blogspot.com
LANJUT MAS BRO - sajadah oh sajadah

snow white

Pada suatu hari ketika musim salju, seorang ratu sedang menjahit dan tanpa sengaja jarinya terkena jarum dan berdarah.

“Yee, orang aku pakai mesin jahit kok…”

Tiba-tiba mesin jahitnya meledak! Bunyinya BUM! Ruangan sang ratu menjahit hancur berkeping-keping, mesin jahit itu hancur lebur, ruangan-ruangan di sebelahnya rusak parah, saluran listrik, air, gas, telpon, internet, satelit, dan eee… sambungan telpon dengan benang, semuanya nonaktif. Bisa dibayangkan dong gimana keadaan sang ratu… Jari sang ratu terkena jarum dan berdarah.



Sang ratu melihat tetesan darah yang terjatuh di atas salju putih.

“Seandainya saja aku memiliki anak perempuan yang seputih salju, semerah darah, dan sehitam bingkai jendela itu.”



Disana nggak ada bingkai jendela, sungguh.

Beberapa tahun kemudian sang ratu melahirkan anak perempuan yang sesuai keinginannya. Kulitnya hitam, matanya merah, dan rambutnya putih.



Sang ratu nggak ingin anak seperti itu, jadi kelahiran anaknya tadi dibatalkan. Kemudian ia menggambarkan gambar anak yang diinginkannya, berkulit putih kemerahan dan berambut hitam seperti bingkai jendela itu.



Bingkai jendela yang mana sih?

Sang ratu kemudian menyerahkan draft itu ke desainer dan kemudian desainer menyerahkan pada dokter. Sang ratu melahirkan anak sesuai keinginannya, dan anak itu dinamai Snow White. Tidak lama kemudian sang ratu meninggal, kematiannya dimungkinkan karena keracunan, sebab ditemukan zat pewarna putih, hitam, dan merah di rahimnya. Hitamnya seperti bingkai jendela itu.



Bingkai yang di dekat vas itu bukan?

Sang raja yang mengetahui kematian istri yang sangat dicintainya sepenuh hati shock berat, karena itulah ia menikah lagi dengan wanita cantik yang ia pilih dari seluruh penjuru dunia, saking shocknya.

Meskipun cantik, wanita itu agak aneh. Ia sering bicara sendiri dengan cermin, padahal di kerajaan nggak ada cermin. Karena itu ia mendatangi toko cermin.

“Mas, ada cermin yang enak diajak omong nggak?”

Penjual cermin berpikir, dia ini pasti ratu talking-to-mirror-mirror-hanging-on-the-wall-you-do-not-have-to-tell-me-who-is-the-biggest-fool-of-all yang dinikahi raja. Tapi bagaimanapun juga ia sangat menghormati raja.

“Hei, ratu bodoh! Kalau mau cermin ke belakang sana! Apa?! Gitu aja minta diantar?! Manja!”

Ratu sangat terkejut, ia menangis…

“Ternyata ada juga yang tahu kalau aku ini bodoh, aku sangat terharu…”

Ratu baru itu kemudian tiba di ruangan penuh cermin. Ia mengajak salah satu cermin bicara.

“Cermin-cermin di dinding, siapakah gadis yang paling cantik?”

Cermin itu kemudian menjawab.

“Hei, siapa yang kamu maksud? Aku?”

“Yaaa… Iyalaaah…”

“Kalau gitu jangan pakai jamak, dasar ratu bodoh!”

“Wah kamu juga tahu kalau aku bodoh! (senang) Baiklah, cermin di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tergantung…”

“Tergantung?”

“Kamu sudah melakukan hal itu dengan raja belum?”

“Hal itu? Hal yang… Itu? I… tu… Eh, gimana yaaa… Belum…”

“Heh (menyindir), dasar anak-anak.”

“Apa maksudmu?!”

“Kamu nggak tahu ya? Aku dengan istriku sudah melakukan itu puluhan kali.”

“Puluhan kali? Melakukan apa? Gimana?”

“Sudah ah, aku nggak mau menanggapi anak kecil. Bye.”

“…”

Ratu baru itu masih agak bingung. Ia pun memilih cermin lain.

“Cermin, apakah aku paling cantik?”

“Tidak.”

“Apa aku cantik?”

“Tidak.”

“Apa aku cantik?!”

“Tidak.”

“Apa kamu bisa berbicara yang lain selain tidak?!”

“Coba lagi.”

“Apa aku cantik?”

“Tidak.”

“…”

Ratu itu merasa pernah melihat hal yang sama di acara televisi kerajaan.

Ratu itu pun pasrah dan meninggalkan toko. Seketika ia kembali ia dibelikan cermin oleh raja. Ia senang dan mulai mengajak cermin itu bicara.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Thou, O Queen, art the fairiest of all!”

Ratu itu tidak tahu bahasa asing, tapi ia sangat senang karena ia baru kali ini mendengar cermin berbicara. Raja yang mengetahui itupun jadi senang.

“Ternyata ia memang suka dengan cermin talking-only-thou-punctuation-o-queen-punctuation-art-the-fairiest-of-all-exclamation yang kubelikan.”

Tetapi hal itu tidak lama, tujuh tahun setelah itu (itu lama yo…) Snow White telah menjadi gadis kecil yang cantik. Kulitnya yang putih kemerahan menjadi sangat indah, dan rambutnya yang hitam menjadi sangat menyerupai bingkai jendela itu.



Kalau bukan yang di dekat vas berarti yang mana?

Ketika ratu baru (sudah tujuh tahun, sudah lama berarti) itu mencoba berkata pada cermin, ia terkejut.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Thou art fairer than all who are here, Lady Queen. But more beautiful still is Snow-white, as I ween.”

“Apa?! Mengapa bicaramu berganti jadi panjang? Pendek aja aku nggak ngerti!”

Raja yang mengetahui hal itu cukup kecewa juga.

“Kenapa ia tidak suka dengan cermin talking-only-thou-art-fairier-than-all-who-are-here-punctuation-lady-queen-full-stop-but-more-beautiful-still-is-sno-white-punctuation-as-i-ween-full-stop yang baru? Padahal cermin itu lebih mahal?”

Ratu menjadi marah kepada Snow White karena namanya disebut di cermin. Ia pun menyuruh assasin untuk membunuh Snow White dan membawa hatinya sebagai bukti.

“Hei, ass! bunuh Snow White dan bawa kesini hatinya.”

“Kok aku dipanggil ass, sih? Ya udah, nggak papa, nggak ada yang senang kalau aku hidup.”

Assasin itu pergi dengan langkah lemas.

Tidak butuh waktu lama untuk assasin menemukan Snow White, Snow White berada di depan pintu kamar ratu.

“Hai, asin! Mau nemuin mama ya?”

“Mengapa sekarang aku dipanggil asin? Nasibku…”

“Kenapa, asin?”

“Nggak papa, kalau gitu aku nemuin mamamu dulu ya…”

“Oke deh kalau gitu…”

Assasin kembali ke kamar ratu.

“Ratu mencari saya? Atau saya mencari ratu?”

“Lho, udah kembali kamu. Gimana ass? Udah dapet hatinya Snow White?”

“Eh, hati? Hati… Oh! Err… Anu…”

“Wow! Apakah bola yang kamu pegang itu hatinya Snow White? Bagus sekali kerjamu. Nanti bayarannya kukirim ke rekeningmu.”

Assasin itu heran juga, ratu kan tahu kalau ini bola? Tapi nggak papa lah, setidaknya ia nggak jadi membunuh seseorang, ia takut dosa.

Tiba-tiba Snow White masuk kamar ratu.

“Mama, Snow White mau main dulu ya…”

“Baiklah, Snow. Hati-hati ya…”

“Dah mama…”

“Dah Snow…”

Assasin yang melihat itu heran, kayaknya ada sesuatu yang… Sudahlah.







Kok habis?

Lho, katanya sudahlah, ya sudah, sudah habis.



Yaaa… Nggak bisa gitu lah.

Kemudian Snow White yang kesepian di hutan kebingungan.

Kok Snow White bisa di hutan? Sebelumnya dia kan di istana?



Kemudian Snow White yang kesepian di istana kebingungan.

DI istana kok kesepian? Ramai ah.



Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana kebingungan.

Nggak kesepian kok kebingungan?



Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana tidak kebingungan.

Kalau nggak kebingungan ngapain?



Kemudian Snow White kebingungan bagaimana bisa dia yang sebelumnya berada di istana yang tidak sepi jadi tidak membuatnya kebingungan tiba-tiba berada di hutan yang sepi yang membuatnya lebih bingung lagi.



Hari sudah semakin sore, Snow White yang tersesat di hutan kebingungan, dia terus berlari.

“Bagaimana ini, hari semakin sore, garis finisnya masih tidak kelihatan…”

Setelah lama dia melihat kotej yang ukurannya kecil, kotej itu sangat kecil sehingga semua perabotannya ditaruh di luar. Disana ada meja yang diatasnya ada 7 piring kecil dengan warna berbeda-beda, ada merah, merah kemerahan, merah kemerah-merahan, merah berbintik merah, merah bergaris merah, putih berlapis merah, dan hitam yang dicat merah. Di atas piring itu hanya ada tepung, tepung, dan tepung.

“Apaan sih ini? Semua piring kok isinya tepung? Nggak ada sendok lagi, adanya sumpit.”

Bagaimanapun juga, karena ia kelaparan semua tepung itu dimakannya (dengan sumpit). Kemudian ia tertidur karena makan puding rasa obat tidur.

Tiba-tiba ada 7 kurcaci yang kelihatannya habis pulang bekerja. Mereka kaget ketika membuka pintu kotejnya.

Kurcaci pertama bertanya, “Siapa yang duduk di kursiku?”, ia bertanya sambil duduk di kursinya.

Kurcaci kedua, “Siapa yang makan di atas piringku?”, ia bertanya sambil kebingungan mencari piringnya.

Kurcaci ketiga, “Siapa yang memakan rotiku?”, ia bertanya sambil makan roti.

Kurcaci keempat, “Siapa yang memakan sayurku?”, ketika ia melihat kurcaci ketiga makan roti ia meralatnya, “Siapa yang memakan rotiku?”

Kurcaci kelima, “Siapa yang menggunakan garpuku?” … “Kapan aku punya garpu?”

Kurcaci keenam, “Siapa yang memotong dengan pisauku?”, ia bertanya sambil menggesek-gesekkan pisaunya ke tangannya, “Aduh!”

Kurcaci ketujuh, “Siapa yang minum menggunakan mugku?” … “Jangan dijawab! Aku tidak bertanya padamu!”

Kemudian ketujuh kurcaci itu tersadar, di dalam kotejnya kan nggak ada apa-apa…

Kayaknya mereka kurang tidur, ketika mereka menuju tempat tidur, mereka kaget.

“Siapa yang habis tidur di tempat tidurku?” Kurcaci pertama bertanya.

“Bukan, bukan aku!” Kurcaci kedua menyangkal.

“Siapa yang bertanya padamu?” Kurcaci ketiga bertanya.

“Bagaimana kamu bisa tahu kurcaci pertama tidak bertanya pada kurcaci kedua?” Kurcaci keempat bertanya.

“Kenapa sampai sekarang aku nggak punya tempat tidur?” Kurcaci kelima bertanya.

“Tempat tidur? Apa itu tempat tidur?” Kurcaci keenam bertanya.

“Hei, ada yang tidur di tempat tidurku!” Kurcaci ketujuh tidak bertanya.

Keenam kurcaci lain melihat tempat tidur kurcaci ketujuh, disana ia melihat ada seorang gadis yang tertidur pulas.

“Lihatlah, cantiknya gadis itu!” Kurcaci pertama berkata.

“Iya, cantik.” Kurcaci kedua mengiyakan.

“He! Ojok mbebek ae kon! (Hai! Jangan mengangsa saja kau!)” Kurcaci ketiga menghardiknas.

“Apa? Aku cantik?” Kurcaci keempat bertanya pertanyaan retoris.

“Kamu bukan gadis yoo…” Kurcaci kelima mengklarifikasi.

“Diam, diam, nanti gadis itu bangun, kasihan dia.” Kurcaci keenam menasehati teman-temannya.

“Aku harus ngomong apa ya?” Kurcaci ketujuh bingung.

Ketujuh kurcaci tersebut kemudian tertidur pulas di kasur masing-masing.

“Hei, aku harus tidur dimana?” Kurcaci ketujuh akhirnya tahu apa yang harus dikatakan.

Esoknya, Snow White terbangun dan kaget melihat kurcaci.

“Hai, aku kaget lho…”

Ketujuh kurcaci tersebut ikutan terbangun.

“Ah”, “rupanya”, “kamu”, “sudah”, “terbangun”, “dari”, “tidurmu.” (kata-kata tersebut diucapkan secara berurutan oleh kurcaci)

“Kalian pemilik kotej ya? Maafkan aku, aku telah memakan semua tepung kalian… Tapi kalian kok makannya tepung?”

1. “Ah itu… Nggak papa… Nggak tahu juga, setelah kami memberikan makanan ternak, menyiram sayuran, atau mengambil hasil panen, warga memberi kami tepung…”

2. “Iya, habis murah kayaknya…”

3. “Baca guide dari mana sih?

4. “Iya, padahal nggak enak…”

5. “Kadang-kadang mereka juga datang siang-siang…”

6. “Minta relaxation tea leaves lagi.”

7. “Iya, budum.”

… Budum?

7. “Ah iya, kok aku bisa ngomong budum ya?”

“Sebenarnya nggak tahu kenapa aku bisa ada di hutan ini, aku nggak tahu jalan pulang. Boleh aku tinggal disini?”

“Asalkan kamu bisa mengurus rumah”, “masak”, “membersihkan tempat tidur”, “cuci baju”, “menjahit”, “menyulam”, “dan membersihkan rumah, kami bisa menerimamu.”

“Ah, aku bisa, tenang saja.”

“Baiklah kalau begitu.” Kurcaci manapun yang ngomong nggak penting.

Esoknya, ketika kurcaci itu pulang dari membantu pertanian warga…

Bukan warga sih, tepatnya seseorang yang memakai topi biru dan tas ransel kuning…

….

Hei, pekerjaan kurcaci itu bertambang tahu!

Sudahlah, ketika mereka pulang mereka melihat rumah mereka (masih) berantakan.

“Snow White! Mengapa semuanya masih berantakan?”

“Hah? Memang dari tadi gitu kok…”

“Bukannya kamu harus membereskan rumah?”

“Hah? Kenapa harus aku?”

“Kan perjanjiannya gitu, kamu harus bersihin rumah untuk tinggal disini…”

“Hah? Bukannya kalian bilang asalkan aku bisa mengurus rumah dan lain-lain? Aku bisa kok, tapi kenapa juga aku harus mengerjakannya untuk kalian?”

“Eee… Bila kau bilang seperti itu benar juga…”

Kemudian kurcaci-kurcaci itu menyesal tidak bisa meralat apa yang telah dituliskan pada cerita ini karena mereka nggak memiliki hak akses administrator.

Dari hutan kita beralih ke istana raja. Ratu senang karena kali ini cermin yang dimilikinya berbahasa Indonesia.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Terima kasih cermin, kalau yang paling ganteng?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Kok… Kalau yang paling jelek?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“… Paling idiot?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa maksudnya semua ini?! Ini semua pasti gara-gara Snow White masih hidup dan bersembunyi di hutan! Aku akan membunuhnya sekarang juga!”

Kemarahan ratu sangat memuncak, ia pergi ke rumah penyihir dan mencari cara untuk membunuh Snow White.

“Tentu saja anda, wahai ratu.”



Ratu mendapatkan cara untuk membunuh Snow White dari penyihir yang ia temui di perempatan dekat pasar. Ia menyamar sebagai pedagang keliling dan menjual kalung ke Snow White.

“Wahai gadis yang cantik, maukah kau membeli kalung ini?”

“Kalung yang cantik sekali ya mama, eh, pedagang keliling. Aku beli deh.”

“Baiklah, akan kukenakan kalung ini ke lehermu.”

Ratu memakaikan kalung itu ke Snow White. Karena ingin membunuhnya, Ratu mencekik leher Snow White dengan itu. Snow White pingsan dan Ratu kabur kembali ke istana.

Snow White terbangun, “Dasar penjual aneh, masa kalung diikatkan ke tangan sih? Ngikatnya keras lagi, untung nggak di leher, bisa bahaya tuh.”

Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci dengan darah mengucur deras dari nadinya.

Ratu kemudian bertanya lagi pada cermin.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa?! Snow White masih hidup!? Kurang ajar! Sekarang pasti akan kubunuh dia!”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek dan menjual sisir beracun ke Snow White.

“Wahai gadis yang berambut bagus, mau sisir?”

“Boleh juga mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir.”

Ratu kemudian menyisir rambut Snow White dengan sisir itu.

Sesaat kemudian Snow White pingsan. Ratu kembali ke istana dengan perasaan senang.

Snow White terbangun, “Dasar nenek, kok yang disisir rambut yang lain sih (yang mana?). Aku sampai pingsan karena geli.”

Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci.

Tunggu, pada adegan tadi rambut bagian mana yang disisir?

Di istana Ratu bertanya lagi pada cermin, tapi sebelumnya ia haus.

“Pelayan, ambilin minum dong!”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa?! Masih belum mati!? Argh! Sekarang pasti!”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Pelayan datang tapi ratu keburu pergi.

“Lho, kemana sang ratu?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek, kali ini jualan apel beracun.

“Mau?”

“SMS sesama operator masih gratis? SMS ke operator lain 100 rupiah? Eh, bukan ya…”

“Duh, jangan iklan dong. Apel nih, mau nggak?”

“Mau dong mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel.”

Snow White kemudian memakan apel itu. Tidak lama kemudian dia pingsan.

“Hahaha, yang ini pasti mujarab. Kembali dulu ah.”

Kali ini berbeda, Snow White tidak bangun-bangun.

Para kurcaci yang baru pulang kaget, mereka kira Snow White mati dan meletakkannya di peti kaca.

Lho, nggak dipastikan dulu? Siapa tahu masih hidup?

“Nggak mau ah, dia cuma ngerepotin mas… Kalau masih hidup beneran gimana? Repot kan? Mas sih enak, cuma jadi narator, ngomong doang.”

… Duh, aku sih pinginnya jadi cermin yang cuma bisa ngomong “Tentu saja anda, wahai ratu.” itu…

Sudah lama Snow White tersimpan di lemari es… Eh bukan ya? Peti kaca ding.

Dia tidak terlihat seperti seseorang yang telah meninggal. Dia tetap seputih salju, semerah darah, dan rambutnya sehitam bingkai jendela itu.



Jangan-jangan bingkai di tempat lain…

Suatu hari pangeran kerajaan tetangga tiba di hutan tempat kurcaci-kurcaci itu, dia kebingungan juga kok bisa tiba-tiba ada disana.

Ia melihat peti kaca Snow White dan tertarik untuk membawanya. Ia membaca tulisan emas di peti itu.

“Dijual cepat, 10 ribu bisa nego.”

Pangeran itu membeli peti Snow White, dengan nego dulu tentunya. Sebenarnya para kurcaci merasa berat dengan kepergian Snow White itu.

“Ya jelas berat, kita disuruh mengangkat peti ini sampai kerajaan. Dasar pangeran pelit.”

Tiba-tiba ditengah jalan peti itu terjatuh karena dibuang oleh para kurcaci.

… Itu sih bukan terjatuh namanya.

“Berat tahu! Kamu kan nggak bayar biaya pengantaran. Udah ah, kami mau pesta teh, musim semi nih!”

“Tunggu dulu! Terus bagaimana aku bisa membawanya?”

Peti yang jatuh itu terbuka dan Snow White terjatuh. Dari mulutnya keluar potongan apel beracun itu.

“Aduh sayang nih!”

Snow White memakan kembali apel itu. Kali ini baru racunnya bekerja, tadi sih Snow White bukan pingsan, tapi tidur.

“Lho kok pingsan lagi?”

Pangeran tersebut menggendong Snow White sampai ke kerajaannya. Sampai di kerajaan, Snow White terbangun.

“Terima kasih tumpangannya.”

“Lho? Jadi kamu tadi tidak pingsan ya?”

“Kenapa aku harus pingsan? Kamu pingin aku pingsan ya?”

Kemudian Snow White pingsan. Ratu kerajaan itu tidak sengaja melihatnya.

“Anakku! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Kamu telah menghamilinya ya?!”

“Apa?! Kalau begitu maafkan aku ibu! Aku akan bertanggung jawab!”

Kemudian Snow White dan pangeran itu akan dinikahkan.

Di lain tempat, ratu yang lain sedang berbicara pada cermin.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa!? Snow White menikah dengan pangeran kerajaan lain?! Kurang ajar, masih hidup saja dia!”

Ratu pergi ke kerajaan tetangga dengan amarah yang memuncak.

“Tentu saja anda, wahai ratu.”



Sesampainya di kerajaan tetangga, ratu (mama Snow White, tapi bukan manajernya kayak yang di suatu acara TV) melihat pernikahan Snow White dengan pangeran kerajaan itu. Ia mendekati Snow White dan akan mengucapkan mantera kutukan.

“Snow White! Ternyata kau ada di sini!”

“Pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel, eh, Mama?!”

“Snow White… Mama selalu mendoakanmu, nak. Semoga kamu berbahagia dengan pangeran ini.”

“Mama… Terima kasih banyak.”

“Ratu, maafkan aku yang telah lancang menikahi Snow White. Aku telah menghamilinya…”

“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku menunggu cucu pertamaku.”

“Mama?! Jadi mama tidak marah?! Mama memang mamaku yang paling baik!”

“Terima kasih bibi!”

Mereka semua bahagia, termasuk semua warga yang menghadiri pernikahan mereka.

Kalau bisa dibuat bahagia, mengapa memilih ending yang harus-ada-yang-mati?
Dan tidak jauh dari tempat pernikahan itu… Akhirnya… Aku melihat bingkai jendela yang berwarna hitam itu.

Sumber : Nafas.com ( http://kum-cer.blogspot.com )
LANJUT MAS BRO - snow white

Kamis, 07 April 2011

kewajiban shalat jum'at

Hari Jum’at adalah hari penting
bagi kaum muslim, dibandingkan
dengan hari-hari yang lainnya.
Mari simak hadits Rasululloh
SAW berikut. “Sebaik-baik hari
adalah hari Jum’at, pada hari
itulah diciptakan Nabi Adam, dan
pada hari itu dia diturunkan ke
bumi, pada hari itu pula diterima
taubatnya, pada hari itu pula
beliau diwafatkan, dan pada hari
itu pula terjadi Kiamat. Pada hari
itu ada saat yang kalau seorang
muslim menemuinya kemudian
shalat dan memohon segala
keperluannya kepada Allah,
niscaya akan dikabulkan. ” (HR.
Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai)
Pada hari Jum’at pula dilakukan
Jum’atan, ibadah khusus
seminggu sekali yang wajib
diikuti oleh kaum lelaki muslim.
Tentu saja ada dalilnya mengapa
ibadah Jum ’atan ini wajib
dilakukan, yakni:
a. Al Jumu’ah(62):9,“Wahai
orang-orang yang beriman,
apabila kamu diseru untuk
melaksanakan shalat pada hari
Jumat, maka bersegeralah
mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli, dan itu
lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui. ”
b. “Hendaklah orang-orang itu
berhenti dari meninggalkan
shalat Jum ’at atau kalau tidak,
Allah akan menutup hati mereka
kemudian mereka akan menjadi
orang yang lalai. ” (HR. Muslim)
c. “Sungguh aku berniat
menyuruh seseorang (menjadi
imam) shalat bersama-sama
yang lain, kemudian aku akan
membakar rumah orang-orang
yang meninggalkan shalat
Jum ’at.” (HR. Muslim)
d. “Shalat Jum’at itu wajib bagi
tiap-tiap muslim, dilaksanakan
secara berjama ’ah terkecuali
empat golongan, yaitu hamba
sahaya, perempuan, anak kecil
dan orang yang sakit. ” (HR. Abu
Daud dan Al-Hakim, hadits
shahih)
Keutamaan sholat Jum’at
dinyatakan dalam hadits berikut,
Abu Hurairah r.a. mengatakan
bahwa Rasululloh SAW bersabda,
“ Barangsiapa yang mandi Jumat
seperti mandi junub kemudian
berangkat (ke masjid), maka
seolah-olah ia berkurban unta.
Barangsiapa yang berangkat
pada saat yang kedua, maka
seolah-olah ia berkurban lembu.
Barangsiapa yang berangkat
pada saat ketiga, maka seolah-
olah ia berkurban kibas yang
bertanduk. Barangsiapa yang
berangkat pada saat yang
keempat, maka seolah-olah ia
berkurban ayam. Dan,
barangsiapa yang berangkat
pada saat kelima, maka seolah-
olah ia berkurban telur. Apabila
imam keluar (naik mimbar),
maka para malaikat
mendengarkan khutbah.” (HR
Bukhari)
Dengan demikian, nyatalah
bahwa ibadah Jum ’atan adalah
kewajiban bagi kaum muslim
terutama laki-laki yang sudah
baligh, sehat, dan bermukim
(tidak sedang bepergian).
Sumber : http://
tausyiah275.blogsome.com/2009/11/28/
kewajiban-jumatan/
LANJUT MAS BRO - kewajiban shalat jum'at