Senin, 13 Juni 2011

sebuah amplop

Lembaran amplop itu masih
satu-satunya pengharapan.
Dibuka bilah demi bilah, lembar
demi lembar.
Tulisan diatasnya itu tak lantas
memuluskan usahanya.
“Yth Bapak, Ibu dan Saudaraku
sekalian. Kami yatim piatu yang
mengharap belas kasihan Bapak
dan Ibu serta Saudara sekalian.
Mohon bantuan seikhlasnya …”
Tulisan yang sama sekali tak ia
mengerti. Itu hanya amplop
yang diserahkan padanya dari
seseorang.
Amplop itu masih jadi
pengharapannya. Dibukanya
bilah demi bilah, lembar demi
lembar.
Kosong.
Kalaupun amplop tak ditekuk
atau diremas saja itu sudah
untung.
Suara kamipun tak semerdu
penyanyi-penyanyi di radio itu.
Duhai, indah nian mereka,
dianugrahi pita suara terbaik,
nasib terbaik dan ….
Amplop itu masih satu-satunya
pengharapan.
Tulisan diatasnya sama sekali tak
meluluskan niatnya.
Ya Allah,
Bukan kami merajuk, kamipun
tak menyalahkan mereka.
Maafkan kami, sungguh. Aku
bersungguh-sungguh, ya Allah…
Amplop itu masih satu-satunya
pengharapan.
Ketika perlahan dengan tangan
gemetar, satu-satunya amplop
tebal yang ia terima.
Ia menelan ludah. Gemetar.
Perlahan ia merogoh apa yang
ada didalamnya. Sebuah kertas,
tercorat-coret membentuk
kata … tapi, ia tak tahu
maknanya….
Yah, ia sama sekali tak tahu apa
itu. Yang ia tahu selembar uang
sepuluh ribuan yang ikut
bersama dalam lipatan kertas itu.
Itulah jawaban dari
pengharapannya.
Siang ini aka nada sepotong es
lilin untuknya.
Sesampainya dirumah, I
sampaian kertas itu pada sang
kakak. Kakak adalah pengurus
rumah singgah ini, penulis
kalimat diatas amplop kami.
Kakak membacakannya, dengan
sedikit sendu …
“Dik, janganlah urung bermimpi.
Langit cukup luas untuk
menampung sejuta mimpimu…
Siapapun dirimu…”
Ia, ia luruh dengan masih
menggenggam sisa uang itu.
Sembilan ribu lima ratus rupiah
lekat dalam genggamnya.
Ia telah memutuskan, ia ingin
bercita-cita … Ia ingin bermimpi,
sampai langit tak mampu
menampung semuanya … Ia telah
berjanji…

http://angsanatirta.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar